Kisah sepotong perjalanan hidup


Advertisement
Singapore's flag
Asia » Singapore
April 11th 2008
Published: May 28th 2008
Edit Blog Post

Kisah sepotong perjalanan hidup

Kisah ini kisah nyata yang saya (Dr Johanes E.G.) alami sendiri, yaitu dirawat di rumah sakit. Saya yakin pasti di antara Anda banyak yang sudah keluar masuk dirawat di rumah sakit, sudah berpengalaman bagaimana rasanya menjadi pasien, tetapi rasanya banyak juga yang belum pernah mengalami menjadi pasien sehingga tidak ada salahnya kalau saya berbagi pengalaman dan perasaan bagaimana menjadi pasien dirawat di rumah sakit. Mudah-mudahan kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Mudah-mudahan Anda jangan mengalami keadaan yang saya alami, tetapi kalau sampai mengalami dan juga setiap orang pada akhir hidupnya pasti mengalami hal yang tidak enak, kita semua dapat menghadapinya dengan lebih tabah karena sudah ada persiapan. Juga di sini dikisahkan trik-trik menjadi pasien, bagaiman melewati hari-hari penuh penderitaan, cara membuang air yang tidak menyiksa dsb.

Kiah ini dimulai dari tanggal 11 Maret 2008 sampai 11 April 2008

Semua sudah diatur Tuhan
Sudah agak lama saya mengalami gangguan perut yaitu mulas dan perut sakit, sewaktu-waktu ada gangguan buang air besar, kadang-kadang juga buang air besar ada darahnya. Gangguan itu dapat saya atasi sendiri dan saya dapat hidup biasa, karena saya memang tidak biasa mengeluh. Tetapi gangguan itu semakin hebat. Saya sudah memikirkan mungkin karena keganasan (kanker) di usus besar.

Saya bekerja di rumah sakit, tetapi kalau saya harus periksa ini dan itu, walaupun tidak usah bayar rasanya malas, mungkin juga di bawah sadar ada juga rasa takut. Beberapa waktu yang lalu saya di USG dan ternyata ada batu kandung empedu, tidak terlihat kelainan di usus besar. Pemeriksaan CEA (Carcinoembryonic antigen, Penanda Tumor) juga masih bagus. Saya merasa lega tidak ada kelainan di usus besar, tetapi bagaimana pun rasanya tidak masuk akal kalau batu empedu sampai menyebabkan sakit di bagian perut bawah dan bab ada darahnya, tetapi saya malas mengadakan pemeriksaan lebih lanjut. Sudah lama adik sepupu saya Dr Vero menganjurkan saya berobat, tapi saya tidak mau. Terakhir Dr Vero menganjurkan saya berobat ke Singapore sebab ibunya (tante saya) juga akan berobat ke sana dan Dr Vero karena suatu komplikasi perut, juga pernah berobat ke Singapore. Dia menganjurkan saya berangkat dengan ibunya tanggal 27 Maret 2008. Saya tetap menolak.

Gangguan di perut semakin menghebat sampai pada tanggal 11 Maret saya merasakan buang air besar kurang tuntas. Malamnya saya minum garam Inggris (MgSO4) dan tengah malam saya mulai buang air besar berkali-kali, bentuknya cair, perut terasa kosong, enak. Hari-hari berikutnya bab kurang lancar, tetapi saya pikir barangkali karena habis dikuras maka kotorannya masih belum banyak, tetapi hari-hari berkutnya bab terasa semakin tidak tuntas.

Tanggal 20 Maret 2008, Hari Kamis Putih, saya tidak bisa bab sama sekali. Perut tidak enak dan saya ke gereja dengan rasa tidak nyaman. Hari Jumat Agung tetap tidak bisa bab dan walaupun badan tidak enak dan perut mulas, saya tetap ke gereja. Saya pikir penderitaan Yesus jauh lebih berat, jadi kalau saya harus sedikit menderita ya tidak apa. Hari Sabtu pagi dan siang saya tidak makan, sorenya Sabtu Paskah saya ke gereja dan habis dari gereja sebagaimana biasa saya dengan keluarga merayakan Paskah dengan makan sate kambing. Hari itu saya juga tidak bab. Hari Minggu saya putuskan untuk tidak makan sama sekali, saya merasa ada yang tidak beres. Hari Senin saya hanya makan siang, semangkok kecil bubur, sebab Evie istri saya sudah membuat bubur dan sampai malam tidak makan apa-apa lagi.

Hari Selasa tanggal 25 Maret ada arisan di kantor. Saya sudah memikir nanti malam saya akan minum garam Inggris lagi, maka siang itu saya makan walaupun perut tidak enak. Malamnya saya minum garam Inggris. Apa yang terjadi? Perut saya ngamuk (hiperperistaltik) tetapi kotoran tidak dapat keluar sama sekali. Aduh sakitnya luar biasa. Hal ini dapat dipakai pelajaran kalau orang tidak bisa bab sama sekali jangan diberi laksans. Dr Vero yang selalu memantau keadaan saya, sekali lagi menganjurkan saya berangkat ke Singapore. Hari Rabu tanggal 26 Maret saya sudah nyerah dan saya bilang ke Dr Vero saya mau berangkat dengan maminya (tante saya) dan diantar anak saya Leona esok hari. Jadi ini pergi dadakan tanpa rencana. Untung masih ada 2 tiket untuk saya dan Ona. Hari Rabu itu karena sakit sudah tidak tertahan saya minta ke Ona untuk membawa saya ke RS Borromeus. Di sana saya langsung ditangani, saya akan diberi enema. Saya baru tahu bagaimana rasanya orang diberi enema.

Saya disuruh masuk ke satu kamar dan saya disuruh ganti celana. Lucu sekali celana ini, seperti celana piyama, warnanya putih dan di bagian pantat ada lubangnya, bulat, sebesar kue serabi. Kemudian saya disuruh nonggeng. Waduh perut sudah sakit, napas juga susah, disuruh nonggeng lagi. Tetapi saya patuh saja. Melalui lubang celana anus saya dimasuki pipa dan diberi cairan Fleet. Lucu juga seperti disodomi, yang nyodomi suster. Saya disuruh nonggeng terus tetapi karena tidak kuat, saya diperbolehkan tidur miring dan menunggu rasa mulas ingin bab. Akhirnya karena sudah mulas saya disuruh buang air besar. Terasa cairan keluar dari anus, tapi ketika dilihat, yang keluar ternyata cairan enemanya dan tidak ada kotorannya sama sekali. Waduh saya kecewa sekali. Ya sudahlah saya pulang dengan perut tegang dan rasa sakit. Hari itu saya tidak makan sama sekali.

Hari Kamis 27 Maret 208 pagi-pagi saya dijemput mobil tante saya yang disertai Clifford anak Dr Vero, dan saya disertai Leona berangkat ke Cengkareng untuk terus ke Singapore. Dalam perjalanan naik mobil itu saya tidak merasakan banyak sakit, saya masih dapat mengikuti obrolan dan ikut tertawa, walaupun perut saya tegang dan membesar sekali. Di bandara saya duduk di bangku dan saya pun dapat berjalan-jalan ke toilet dan saya menolak memakai kursi roda sebab rasanya lucu naik kursi roda. Tetapi Ona dan tante saya memaksa saya naik kursi roda, mereka memanggilkan kursi roda dan karena sudah datang ya saya duduk di kursi roda. Rasanya nyaman sekali, tadi saya duduk di bangku yang keras dan tidak ada sandarannya, sekarang duduk di kursi yang empuk dan ada sandarannya. Ya itulah pengalaman baru bagi saya.

Selanjutnya pada waktu orang diperbolehkan masuk, orang berdesak-desakan, antri berderet; sedang kami berempat karena saya memakai kursi roda didorong oleh petugas, meminta izin lewat dan orang-orang minggir memberi jalan ke saya. Kami masuk melalui jalur khusus dan diperiksa secara cepat oleh petugas khusus. Saya diperlakukan seperti raja. Begitu juga pada waktu masuk ke pesawat, orang-orang minggir untuk memberi jalan kepada kami dan kami dengan cepat sampai di pesawat dan disambut oleh pramugari SQ. Kemudian petugas SQ memberi tahu kami agar jangan berdesakan turun, sebab akan dijemput. Begitulah pada waktu di Changi orang-orang berdesakan turun, kami tenang-tenang saja duduk dan kemudian petugas datang menjemput kami dan begitu keluar dari pesawat kursi roda sudah menunggu dan saya naik kursi roda lagi menembus / melewati orang ramai. Saya diperlakukan seperti raja. Hari ini saya tidak makan, demikian juga makanan di pesawat saya tolak.

Pada waktu saya mengambil keputusan akan ke Singapore, maka Julius suami Ona kirim e-mail ke Halef anak bungsu saya di Atlanta mengatakan papah ke Singapore ke NUH (National University Hospital). Halef yang menerima e-mail itu langsung mengerti ada sesuatu yang tidak beres maka dia meminta izin ke tempat kerjanya, kemudian membeli tiket ke Singapore.

Singkat kata untuk menutup pembicaraan Semua Sudah Diatur Tuhan, saya tiba di NUH tanggal 27 Maret sore dan saya dioperasi Jumat tanggal 28 Maret dengan ditemani Ona dan sanak saudara saya yang di Singapore. Malam menjelang saya dioperasi Ona tilpon ke Evie tentang saya akan dioperasi besok. Kemudian saya bicara ke Evie agar jangan panik dan tidak usah segera datang. Urus saja anak-anak dulu (cucu-cucu kami) dan tukang yang sedang merenovasi rumah. Esoknya Evie cari tiket dan mengurus ini-itu, Evie datang hari Minggu.

Sebagai ringkasan semua sudah diatur oleh Tuhan yaitu:

Saya tidak mau berobat apalagi ke Singapore, tetapi ‘dipaksa Tuhan’ (sampai saya minum garam Inggris dsb) saya harus pergi bersama tante saya. Kisah ini agak mirip dengan kisah Nabi Yunus yang menolak pergi ke Niniwe, tetapi yang terjadi ialah dia sampai diceburkan ke laut dan ditangkap ikan paus, diantarkan ke pantai Niniwe.
Bagi saya pun ikan pausnya sudah disiapkan yaitu pergi dengan tante saya dengan naik mobilnya ke bandara. Tiket pesawat masih ada sehingga kami berempat (Saya, Ona, Tante, Clifford) duduknya sederet. Profesor Charles Tsang yang saya tuju, mau saja ditodong (dihubungi dengan tilpon oleh saudara saya) untuk menerima saya pada hari Kamis. Semua perjalanan lancar.
Saya diberi kesempatan bagaimana merasakan menjadi orang sakit dan dirawat di rumah sakit. Mungkin untuk masa mendatang saya (semua orang terlebih-lebih dokter) harus bersikap lebih baik ke orang sakit khususnya dan ke sesama umumnya.
Kemudian Evie berangkat dari Jakarta dan Halef dari Atlanta. Tibanya di Changi selisih 20 menit sehingga saudara saya yang menjemput di Changi dapat membawa mereka bersama.
Kami berempat kumpul yaitu saya dengan Evie dan kedua anak kami Ona dan Halef. Pada waktu meminta izin ke rumah sakit apakah boleh kami semua tidur di kamar saya, kami diberi izin. Jadi kami berempat tidur dalam 1 kamar di sofa dan di kursi, mengingatkan kami dulu kalau ke mana-mana juga selalu berempat.
Ona dan Halef diberi kesempatan untuk menunjukkan bakti ke orang tuanya dan saya pun diberi kesempatan bahwa di samping istri dan anak-anak, banyak juga orang yang memberi perhatian dan kasih kepada saya. Dan yang paling penting saya diberi karunia untuk menghayati bahwa Yesus selalu mengasihi dan memperhatikan saya.
Ya semuanya sudah diatur Tuhan.

Rasanya orang dirawat di rumah sakit

Kamis 27 Maret 2008 saya berangkat ke Singapore, bukan untuk tamasya tetapi seperti akan masuk rumah tahanan walaupun saya tahu rumah tahanan itu akan menolong saya. Sesampainya di bandara Changi saya naik kursi roda dan saya dengan rombongan dapat keluar dari pemeriksaan dengan lancar dan cepat. Di luar sudah menunggu ambulans dan saya langsung di bawa ke National University Hospital (NUH). Di ambulans saya disuruh tidur telentang, tapi lama-kelamaan saya bosan maka saya duduk. Penjemput saya seorang perawat tidak memperkenankan saya duduk, tetapi saya bilang tidak apa-apa dan saya duduk melihat ke luar dan ngobrol sambil bergurau dengan Ona dan dia. Menjelang tiba di rumah sakit saya disuruh tiduran lagi dan diselimuti, sebab kalau saya duduk dia akan dipersalahkan. Makanya saya tidur lagi, diselimuti. Saya tiba di rumah sakit sekitar pukul 17.00.

Di NUH saya dijemput dengan brankar dan saya diangkut ke Kent Ridge Road Wing lantai 7 (78) kamar 17. Saya agak tegang, eh ternyata perawatnya, suster-susternya ramah-ramah, jadi ketegangan saya hilang. Sesampainya di kamar saya akan digotong, tetapi saya bilang dapat turun sendiri maka saya pindah ke tempat tidur ruangan. Saya disuruh ganti pakaian dinas, yaitu piyama pakaian pasien atau kaya pakaian tahanan. Saya merasa agak janggal tetapi ya sudah saya ganti pakaian. Lengkap sudah saya dengan pakaian dinasnya.

Tidak berapa lama datang orang dan melakukan anamnesis, tanya riwayat penyakit, alergi obat dan segala pertanyaan ini dan itu. Saya kira dia co-as, tetapi saya tidak memandang rendah dia, saya hargai dan hormati dia, dan semua pertanyaannya saya jawab dengan serius. Lalu dia periksa-periksa, kemudian minta diri dan pergi. Tidak lama datang dokter lain, saya kira dokter jaga dan dia menanyakan pertanyaan yang sama dan saya jawab dengan jawaban yang sama juga. Dia periksa-periksa dan kemudian pergi, tetapi sebelumnya saya dipasangi wing needle. Tidak berapa lama datang dokter lain, mungkin residen bedah dan dia mengajukan pertanyaan yang sama juga, sehingga jawaban saya pun sama. Dia periksa-periksa lagi dan kemudian pergi. Kemudian datanglah “Sang Dewa” yaitu Prof Charles Tsang. Dengan simpatik prof duduk di tempat tidur saya dan mengajukan beberapa pertanyaan dan pemeriksaan fisik. Kemudian prof mengatakan malam ini juga saya akan diperiksa darah lengkap dan Röntgen, baru nanti diambil keputusan.

Setelah prof pergi datang petugas mengambil darah saya dan kemudian saya dibawa dengan brankar ke tempat Röntgen, Ona ikut mengantar. Di sana saya difoto dengan cepat dan kemudian saya kembali ke ruangan. Kemudian prof datang lagi dan dia mengatakan dari hasil darah dan foto saya akan dioperasi besok. Saya tanya bagaimana dengan perut saya yang sangat tegang ini. Prof menyarankan akan dilakukan enema, tapi saya bilang tidak ada gunanya sebab di Bandung pun sudah dilakukan tetapi tidak ada yang keluar. Prof mengerti dan dia berkata “Ya sudahlah istirahat saja dengan tenang, besok saya akan mengeluarkan semua isi perut anda.” Dia tertawa dan saya pun tertawa. Tidak berapa lama datang suster dan akan menyuntik saya, saya tanya obat apa dan ternyata pethidin, sejenis morfin. Saya agak takut nanti keluar dari rumah sakit saya akan menjadi pecandu narkoba dan saya katakan kepada prof, tetapi prof berkata “Gak usah kuatir.” Saya menurut saja disuntik, tetapi untunglah rasanya tidak ada perbaikan dalam menghilangkan rasa sakit, sehngga ya saya tidak begitu berkesan. Pada salah seorang suster yang akan keluar saya bertanya apakah ada orang yang dapat memberikan komuni di rumah sakit. Suster itu tidak mengerti tetapi dia memanggilkan suster katolik dan ketika saya meminta kalau bisa diberi komuni selama saya dirawat, dia berjanji akan mengaturkan dan selama saya di rumah sakit saya menerima komuni 3 kali.

Setelah ada keputusan operasi, Ona langsung telpon ke Evie, bahwa besok saya akan dioperasi dan saya ikut berbicara agar Evie tenang saja, urus saja semuanya dulu. Tidak berapa lama datang suster yang memberi saya obat untuk dimakan dan saya mencoba tidur. Ona diperbolehkan tidur di sofa menemani saya dan mungkin karena sangat capai sebentar saja dia tertidur. Saya dapat memejamkan mata, tetapi sebagaimana kemarin-kemarinnya, saya tidak dapat tidur, tidak ada rasa ngantuk. Saya terganggu tidur sebab di samping rasa nyeri dan tegang di perut, juga karena biasanya saya tidur miring, tetapi setelah tidak bisa bab, kalau akan miring sakit sekali jadi saya telentang terus. Semalaman yang saya kerjakan bermacam-macam, mulai dari menikmati rumah sakit, berpikir, dan berdoa.

Menikmati rumah sakit mulai dari melihat-lihat ke kiri-kanan dan ke atas, kemudian mainan tempat tidur yang dapat disetel naik turun bagian kepala dan kaki, dan melihat kerja para suster. Tidak berapa lama datang suster yang memeriksa suhu badan, tensi, denyut nadi serta saturasi oksigen. Saya amati kerja suser dan peralatannya, ternyata mereka cekatan dan alatnya canggih. Dengan jepitan di jari, dapat diketahui saturasi oksigen dalam darah saya. Saya dapat melihat hasilnya dari layar monitor dan kalau layarnya tidak terlihat saya tanyakan dan dia menggeser agar monitornya tampak oleh saya, kemudian dia keluar. Tidak berapa lama datang suster lain kali ini kadar gula darah saya diperiksa melalui tusukan jari. Saya tanyakan hasilnya juga. Setelah selesai dia keluar. Tidak berapa lama datang suster lain yang melihat apakah infus jalan, kemudian dia keluar. Tidak berapa lama lagi masuk suster membawa obat dan saya disuruh minum obat, dan setelah itu dia keluar. Kemudian alarm infus berbunyi ada yang tidak beres dan kali ini saya yang memencet bel dan suster segera datang. Mengenai suster yang berulang kali datang apakah menjengkelkan atau menyenangkan? Bergantung kepada sudut pandang orangnya. Kalau pandangannya negatif, maka akan timbul kejengkelan. Saya memandang dari segi positifnya, yaitu saya tidak bisa tidur, datang selingan orang yang datang, seolah-olah mereka menemani saya. Jadi kedatangan mereka menyenangkan. Saya melihat kerja mereka sama seperti menonton sinetron. Begitulah kejadian sepanjang malam yang saya rasakan saya tidak tertidur sekalipun dengan suntikan pethidin.

Mengenai doa, saya sudah lama membiasakan diri berdoa sepanjang waktu. Begitu saya bangun tidur pagi hari langsung saya berdoa dalam hati mengucapkan berulang-ulang “Yesus kasihanilah aku” atau “Yesus kasihanilah kami.” atau “Yesus kasihanilah si Anu” (Si Anu siapa saja orang yang saya ingat termasuk orang yang menjahati saya, atau yang saya lihat, termasuk pedagang asongan yang saya lihat di jalan)” atau “Yesus aku mengasihani Engkau.” Begitulah doa itu selalu saya ucapkan entah saya sedang bekerja, sedang menonton televisi, sedang berkendaraan atau pun sedang mandi. Tetapi dalam keadaan menderita rasanya doa lebih khidmat. Saya juga sudah sejak SMA (tahun 1959) setiap hari berdoa rosario dan saya bertekad akan berdoa terus sepanjang hayat. Doa lain yang setiap hari saya ucapkan ialah Doa Santa Brigitta yang saya susun dalam bentuk buku dengan nama Asuransi Abadi. Saya juga berniat mengucapkan doa ini setiap hari sampai akhir hayat. Tetapi dalam keadaan seperti ini, entah dalam semalam itu saya berdoa rosario berapa kali. Rasanya saya tertidur juga dan hal ini saya ketahui pada waktu saya berdoa rosario itu. Misalnya saya berdoa rosario dan saya melihat jam menunjukkan pukul 01.00 dan saya memejamkan mata melanjutkan berdoa. Pada waktu saya melihat jam lagi sudah pukul 01.25, tetapi majunya biji rosario baru 12, ya tidak mungkin dalam 25 menit baru maju 12 biji. Jadi dengan perkataan lain saya tertidur tetapi tidak nyenyak. Hal ini dapat dipakai kalau Anda tidak dapat tidur, cobalah berdoa rosario, apakah dapat menyelesaikan 1 rosario tanpa tidur.

Selanjutnya karena capai mencoba tidur, maka saya mencoba berpikir, merenung dan melamun, sambil menunggu kedatangan suster. Dalam merenung ini saya dapat membayangkan bagaimana sepinya Yesus di Taman Getsemani. Dan bagaimana Yesus diperlakukan setelah ditangkap. Dengan tidak terasa saya memikir bahwa sekarang malam Jumat, tepat 1 minggu setelah Kamis Putih dan saya merasa keheningan seorang diri di malam hari. Mungkin begitulah Yesus pada waktu Kamis Putih. Hanya bedanya saya tidak sendirian, saya ditemani Ona dan di luar banyak suster yang menjaga dan membantu saya, setiap saat datang kalau saya panggil. Setelah ditangkap Yesus juga dikawal tetapi maksudnya supaya Yesus tidak melarikan diri. Para pengawal itu tidak membantu Yesus, tetapi semalaman mereka menyiksa, mengejek, mencemooh Yesus. Memikirkan hal itu tanpa terasa air mata saya keluar.

Kemudian saya melamun lagi. Hari Jumat Agung Yesus disalib, menumpahkan darah. Besok pun hari Jumat saya akan dioperasi, menumpahkan darah. Hanya bedanya operasi untuk menolong saya, sedang disalib untuk menghancurkan dan membinasakan. Saya semakin terharu ternyata penderitaan saya hanya begini dibandingkan dengan penderitaan Yesus. Kemudian saya memikir lagi di bandara Soekarno-Hatta dan di Changi saya diperlakukan sebagai raja, saya naik kursi dan didorong, rasanya seperti pada Minggu Palem, Yesus juga diperlakukan sebagai raja. Mengingat hal ini saya tertawa sendiri. Ya penderitaan tidak selalu harus ditangisi, ada lucunya.

Akhirnya hari mulai terang tanah, suster datang saya akan dilap dan disuruh sikat gigi di kasur, tetapi saya bilang saya dapat turun, maka jarum infusan dibuka dan saya pergi ke kamar mandi sendiri. Setelah saya kembali, suster sibuk mengukur suhu badan, mengukur tekanan darah dan saturasi oksigen, mengukur glukosa darah dan mengerjakan ini dan itu. Akhirnya tiba waktunya saya dijemput dengan brankar dan dibawa ke kamar operasi. Saya didorong melalui lorong-lorong rumah sakit, Ona mengikuti saya dari belakang. Selama saya didorong itu saya memikirkan bagaimana menjelang disalib, Yesus harus menggotong kayu salib yang akan dipakai untuk menyalib diri-Nya, seharusnya saya memikul peralatan yang akan dipakai mengoperasi saya, tetapi kenyataannya saya tiduran dan didorong. Betapa enaknya saya. Menjelang masuk kamar operasi Ona menghampiri saya dan saya melihat air mata keluar dari matanya. Tanpa terasa saya pun mengeluarkan air mata. Air mata kebahagiaan bercampur dengan air mata kesedihan.

Beban yang tidak tertanggungkan

Janji Yesus “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.”

(Matius 28:20)

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Footprints in the sand

Ada sebuah cerita atau kisah, seorang yang sudah tua dan sakit berat, didatangi Yesus dan Yesus memperlihatkan perjalanan masa lalu orang tua tersebut yang tampak sebagai 2 pasang jejak kaki di atas pasir. Kata Yesus “Saya selalu menyertaimu, lihatlah ada 2 pasang jejak kaki. Satu punyamu dan satu punya-Ku” Orang itu melihat gambaran tapak kaki di pasir itu dan dia dapat melihat dengan jelas masa lalunya. Dalam gambaran masa lalu itu dia melihat pada saat-saat gawat gambaran tapak kaki itu tinggal sepasang maka dia berkata kepada Yesus “Engkau selalu menyertai saya, tetapi lihat ketika ada masa gawat, Engkau malahan meninggalkan saya sehingga lihat telapak kaki itu tinggal sepasang.” Kata Yesus “Pada masa-masa yang gawat itu, engkau berdiri pun sudah tidak kuat apalagi untuk berjalan. Pada masa itu saya yang memanggulmu. Lihat tapak tunggal itu lebih dalam. Itu tapak kaki-Ku yang memanggulmu.”

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Menurut Ona lama operasi hampir 5 jam (mulai dari masuk kamar sampai para dokter keluar). Sedang saya keluar dari recovery room 3 jam kemudian. Saya ingat pada waktu keluar itu saya melihat Ona dan beberapa sanak-saudara saya yang di Singapore sudah menunggu. Saya tersenyum kepada mereka, tetapi kemudian mata tertutup lagi, masih sangat ngantuk. Sesampainya di kamar saya juga masih ingin menutup mata dan mereka pulang, saya tidak ingat. Ketika saya bangun saya melihat Ona seorang diri. Saya merasakan perut tidak setegang sebelum dioperasi. Saya melihat sekeliling, maka lengkaplah sudah peralatan yang saya pakai. Kedua lengan saya ada infusnya. Di leher juga ada jarum. Dari lubang hidung ada NGT (Naso Gastric Tube) dan selang oksigen. Dari perut ada drain sedang dari bawah ada kateter dan ada selang yang keluar dari anus. Saya tersenyum sendirian, yang dulu saya takuti sekarang menjadi kenyataan, atribut saya lengkap. Kemudian saya tertidur lagi. Malam itu boleh dibilang saya dapat tidur, karena masih ada pengaruh obat bius.

Esok hari mulailah kejadian rutin, suster keluar masuk. Untuk pertama kali muka dan badan saya diseka. Kemudian suster memeriksa tekanan darah, saturasi oksigen, gula darah, memberi obat dst. Hari itu saudara dan kerabat saya yang tinggal di Singapore, mengunjung saya. Saya terharu melihat kedatangan mereka. Tengah ada kunjungan itu datang petugas gereja yang akan memberikan komuni. Saya sebenarnya tidak boleh makan dan minum karena belum ada kentut dan bab, tetapi saya pikir komuni tidak apalah, malahan bagus, maka saya tetap menerima komuni.

Setelah para tamu pulang saya dapat merenung dan merasakan sakitnya sekarang bagaimana. Dibandingkan dengan kemarin perut saya lebih kendor dan ditekan tidak seberapa sakit. Tetapi sekarang terasa bekas sayatan dan jahitan terasa pedih dan menarik-narik. Drain di perut menyebabkan rasa tidak enak, demikian juga dengan kateter, selang di anus dan NGT menyebabkan rasa tidak nyaman. Karena sudah tidak mengantuk lagi maka saya mulai berpikir, merenung dan melamun. Rasanya sakit puncaknya ialah pada waktu hari Kamis, pada waktu saya 6 hari tidak dapat buang air besar. Pada waktu itu saya berangkat dari Bandung ke Jakarta dengan mobil, tetapi saya tidak begitu merasakan sakit, walaupun sedikit banyak naik moil ada goyangannya, malahan saya dapat mengobrol dan tertawa. Saya juga tidak begitu merasakan lemas, padahal sudah beberapa hari saya tidak makan. Pada waktu di Cengkareng saya dapat berjalan dan dalam perjalanan di pesawat saya juga dapat tenang sampai saya naik ambulans dan masuk rumah sakit. Di rumah sakit saya pun masih dapat berjalan, mengobrol dan tertawa. Seharusnya saat-saat itulah saya merasakan paling sakit dan kehilangan tenaga, sebab perut juga sudah sangat tegang, ditekan juga sakit. Tetapi mengapa saya masih dapat tahan dan malahan saya masih dapat berjalan, mengobrol dan tertawa? Mungkin pada saat itulah saya dipanggul oleh Yesus. Yesus yang menanggung semua penderitaan saya.

Petir di siang hari bolong

Saya dioperasi hari Jumat tanggal 28 Maret 2008. Hari Sabtu saya merasa lebih enak dibandingkan sebelum operasi, tetapi gangguan masih ada yaitu mulut kering sekali tetapi saya tidak boleh minum. Saya dapat merasakan sedikit rasa haus yang dirasakan Yesus. Tetapi haus saya tidak seberapa sebab saya sering meminta sedikit air ke Ona. Ona melarang tetapi saya bilang tidak apa-apa. Saya minta teh Oolong dan saya minum setengah teguk dan kemudian minum air putih setengah teguk. Rasanya enak sekali.

Siang hari kondisi saya lebih baik daripada kemarin. Karena kondisi saya sudah membaik, maka Ona menghampiri saya dan dengan hati-hati dan mata berkaca-kaca Ona menyampaikan perkataan yang disampaikan oleh Prof Charles. “Pah kata prof tumor yang menyumbat sebesar bola golf dan usus dibuang 11 cm.” Saya tertawa. Kemudian Ona dengan hati-hati berkata “Tumor itu ganas, pah.” Saya bilang “Papah juga sudah menduga.” Kemudian lanjut Ona “Kata prof, stadium 4, penyebarannya sudah luas dan banyak yang dibuang dengan kauter.” Saya bilang “Papah juga sudah menduga sebab mulas dan nyerinya juga seluruh perut.” Lanjut Ona lagi “Prof juga heran mengapa papah dapat menahan sakit seperti ini, untuk selama ini.” Saya tertawa dan dalam hati saya berkata “Banyak orang yang menderita sakit melebihi ini.” Melihat saya tenang, Ona juga kelihatannya lega. Saya tidak begitu kaget karena saya sudah menduga tentang hal yang kurang baik itu.

Sorenya Prof Charles datang dan dia duduk di ranjang saya dan mengungkapkan hal yang sama seperti yang disampaikan Ona. Saya mendengarkan dengan tersenyum dan mungkin dia heran bercampur lega, saya tidak panik. Kemudian saya balik tanya apakah dia sering menemukan pasien seperti saya dengan stadium lanjut. Jawabnya “Don’t worry, you are not alone.” Saya tertawa dan dia juga tertawa, kemudian saya tanyakan lagi pengobatan selanjutnya, jawab prof kemoterapi. Saya tanyakan usia harapan hidupnya berapa. Jawab prof 2 tahun. Saya tertawa dan prof juga tertawa. Mungkin prof lega melihat pasiennya tidak panik.

Saya tidak panik karena pertama sudah lama saya menganggap semua orang termasuk pedagang asongan dan pembantu rumah tangga sebagai teman sejawat. Saya punya anak dan istri, mereka juga punya anak dan istri (suami). Kalau saya melihat orang muda, entah siapa saja saya membayangkan mereka adalah tulang punggung keluarga (yang mencari nafkah dan mengasuh) dan mereka sedang ditunggu oleh istri (suami) dan anak-anaknya yang masih kecil. Bukan saya nantang, tetapi seandainya ada malekat maut bertanya kepada saya, siapa yang sebaiknya meninggal dia/mereka (yang masih muda dan anak-anaknya masih kecil) atau saya. Saya akan jawab “Sebaiknya saya.” Anak-anak saya sudah besar, mereka tidak begitu bergantung kepada saya, sedang mereka yang masih muda, anak-anaknya yang masih kecil masih mengharapkan kehadiran orang tuanya. Makanya karena saya sudah menyiapkan diri untuk meninggal setiap saat, maka saya tidak kaget divonis kena keganasan stadium lanjut. Malahan kalau umur saya masih 2 tahun lagi, ya syukurlah.

Alasan kedua dan ini yang terpenting mengapa saya tidak panik ialah sekarang saya hidup dalam kuasa dan kasih Yesus. Kalau saya meningal, saya pun ‘masih hidup’ dalam kuasa dan kasih Yesus. Jadi meninggal itu hanyalah sebagai pindah tempat saja.

Dalam penderitaan ada lucunya

Hari Minggu Evie dari Bandung dan Halef dari Atlanta datang dan mereka datang bersamaan dijemput saudara saya, sebab selisih pesawatnya hanya 20 menit. Saya senang dengan kedatangan mereka, jadi kami berempat berkumpul, reuni yang tidak terduga. Persoalan yang timbul ialah kalau yang menunggu hanya diperbolehkan seorang, bagaimana. Malam itu kami diam-diam saja dan untung suster tidak mengusir yang menunggu. Besoknya kepada suster diminta izin agar kami berempat boleh tinggal dalam kamar saya. Untung permintaan kami dikabulkan, jadi kami berempat tinggal bersama.

Kami mengobrol, kalau saya sih malas mengobrol hanya mendengarkan saja dan rasanya senang mendengarkan Evie, Ona dan Halef mengobrol. Saya merasa ada yang menemani. Tetapi mungkin karena capai malamnya mereka cepat tertidur dan saya hanya ditemani oleh dengkur mereka. Suara napas mereka seperti paduan suara, saya ingin bergabung dengan mereka tetapi tidak bisa. Jadi ya sudah saya menjadi pendengar saja. Sekali-kali suster masuk untuk melakukan ini dan itu, kadang-kadang mereka terbangun, kadang-kadang juga tidak. Saya senang kalau mereka terbangun, tetapi saya tidak mau sengaja membangunkan mereka untuk menemani saya.

Hari-hari setelah operasi, perut terasa mulai sakit. Kalau tidur datar perut teregang dan napas seperti akan putus. Kepala harus ditinggikan tetapi lama-kelamaan punggung terasa pegal. Saya merasakan perut terasa semakin sakit, mungkin karena pengumpulan gas, karena saya belum bisa bab dan buang angin sama sekali. Saya dapat membayangkan bagaimana pegalnya Yesus yang tergantung di kayu salib. Bedanya saya dengan Yesus, saya tiduran di ranjang modern yang dapat disetel naik turun, diselimuti, dan setiap saat saya mebutuhkan pertolongan ada orang yang datang. Yesus dipaku di kayu salib dalam keadaan telanjang dan dijadikan tontonan, kayu salib sudah jelas tidak nyaman dan tidak dapat disetel. Banyak orang di bawahnya, tetapi mereka bukannya menolong tapi menonton dan mengejek. Ya penderitaan saya bukan apa-apanya dibandingkan dengan penderitaan Yesus.

Hari Rabu 2 April Ona pulang ke Bandung, jadi saya hanya ditemani oleh Evie dan Halef. Sampai hari ini sudah 5 hari sejak operasi saya tidak bisa buang air besar, bahkan buang angin juga belum bisa. Hal ini dapat diketahui karena selang dari anus dihubungkan dengan kantong vakum dan kalau buang angin kantong akan sedikit melembung. Kantong sama sekali tidak melembung. Perut saya sangat tidak nyaman dan sakit karean regangan. Dokter bingung dan memikirkan mungkin ada obstruksi (sumbatan) lain maka diputuskan untuk di Röntgen lagi. Saya tanya “Seandainya ada sumbatan lain apa yang akan dilakukan.” Jawabnya “Operasi lagi.” Waduh berat sekali.

Tidak berapa lama saya dibawa ke tempat Röntgen, Evie dan Halef mengiring dari belakang. Di tempat Röntgen itu suasananya mengerikan, alat-alat seperti ada belalainya, mirip tempat penyiksaan. Tidak berapa lama kemudian datang seorang petugas menyapa saya dengan ramah dengan panggilan uncle dan dia mengatur ranjang saya. Kemudian dia masuk dan keluar lagi dengan gelas mirip gelas coca cola Mc Donald yang isinya 300 ml. Dia menyuruh saya minum. Saya tahu itu zat kontras. Perut sudah sakit disuruh minum. Saya ingin menolak, tetapi saya bukan tipe orang yang suka membangkang dan lagi pula minuman itu untuk kebaikan saya, maka saya minum zat kontras itu yang warnanya hijau, kental seperti cincau, agak manis dan bau mint. Walaupun sakit saya memaksakan diri untuk menegakkan kepala dengan menyetel ranjang sebab kalau posisi saya datar dan sampai saya keselak zat kontras masuk ke paru-paru, urusan akan menjadi lain lagi. Dengan cepat saya minum sampai habis. Zat sebanyak 300 ml masuk, saya sedikit lega walaupun perut semakin tegang. Petugas itu masuk dengan membawa gelas kosong, tidak berapa lama dia datang lagi, astaga, membawa segelas zat kontras lagi dan saya disuruh meminum lagi. Ya sudahlah. Saya mengucap dalam hati “Terima kasih Tuhan,” dan saya minum 300 ml lagi. Perut saya semakin tidak enak dan saya membayangkan keadaan saya seperti sapi gelonggong yang diberi minum air supaya berat badannya naik dan harga jualnya tinggi. Untung sekali saya tidak disuruh minum lagi, saya disuruh menunggu setiap seperempat sampai setengah jam sekali di foto. Untung sekali Evie dan Halef diperbolehkan masuk menemani saya dan pada waktu akan difoto mereka disuruh ke luar, hanya saya seorang diri yang di ruangan dan difoto. Kemudian menunggu lagi setengah jam difoto lagi dst sampai beberapa kali foto. Selama menunggu itu betul-betul merupakan siksaan, tidur mendatar jelas tidak kuat napas seperti akan putus, kepala diangkat sedikit perut semakin nyeri. Jadi serba salah tetapi saya dapat membayangkan bagaimana tersiksanya Yesus yang 3 jam tergantung di kayu salib. Selama menunggu itu ada lucunya. Saya melihat beberapa pasien lain yang akan di Röntgen, antara lain orang yang berjalan berjingkat-jingkat memakai tongkat karena satu kakinya digips. Saya melihat dia dan dalam hati saya berkata alangkah enaknya menjadi dia dapat berjalan sekalipun berjingkat-jingkat dan memakai tongkat.

Akhirnya proses foto-memfoto berakhir dan saya dibawa ke ruangan lagi. Saya mulai muntah-muntah dan keluar cairan hijau. Dokter menyuruh agar saya dipasangi NGT dan saya menawar janganlah sebab tidak nyaman. Dokternya, Dr Yonathan dengan sabar menerangkan muntah-muntah akan berlangsung sepanjang malam. Saya bilang tidak apa, biar saja muntah-muntah. Dokter Yonathan menerangkan lagi “Anda akan terganggu dan tambahan pula kalau sampai masuk ke paru-paru, akan meneyebabkan komplikasi yang lebih parah. Saya menurut dan benar juga sampai besok pagi dari NGT itu keluar cairan 2700 ml. Coba kalau saya harus memuntahkan cairan sebanyak itu berkali-kali, apa yang akan terjadi.

Esok harinya pukul 05.00 saya dibawa ke tempat Röntgen lagi. Saya sudah takut barangkali saya disuruh minum lagi, ternyata tidak disuruh minum, hanya difoto untuk terakhir kali untuk melihat kontrasnya sampai di mana. Habis foto saya kembali ke ruangan. Ternyata zat kontras dapat lancar, jadi tidak ada sumbatan di tempat lain. Saya merasa lega. Kemudian kateter dan selang dari anus di lepas dan saya dipakaikan pampers. Lucu rasanya memakai pampers. Pada waktu saya akan kencing, suster dan malahan Evie bilang ya cur saja, kan ada pampers. Saya ragu kencing di pampers rasanya bagaimana, walaupun cucu saya juga sering kencing di pampers. Ternyata setelah cur, pampers itu dapat menghisap urine.

Sore hari untuk pertama kali sejak sekian lama saya ingin buang air besar. Saya memanggil suster dan suster bilang keluarin saja, kan ada pampers. Saya merasa lucu dan malu, masa buang air besar di pampers. Akhirnya saya coba juga dan keluarlah anget-anget, ternyata feses cair disertai angin. Jadi kaya hujan petir, saya tersenyum sendiri. Di Singapore juga lagi musim hujan dengan petir, jadi saya tersenyum, ternyata di luar dan di dalam sama saja. Saya akan dibersihkan, suster menyuruh saya miring. Waduh miring-miring perutnya sakit luar biasa dan sukar bernapas. Pantat saya dilap dengan tisue basah dan pampers saya diganti. Feses yang keluar warnanya hijau dan cair, sebab yang keluar ialah zat kontras yang sifatnya hiperosmotik jadi menarik air. Setengah jam kemudian saya ingin buang air besar lagi dan setelah cur saya panggil suster dan kembali saya disuruh miring (perut sakit, sukar bernapas), dan dilap dengan tisue basah. (Sampai saat ini saya tidak mengerti, mungkin ada Ts yang dapat menjelaskan, mengapa 5 hari setelah operasi saya tidak bisa buang angin dan bab sama sekali, tetapi setelah keluar sekali terus setiap setengah jam keluar lagi). Saya pikir kalau setiap bab caranya begini saya tersiksa dan lama-kelamaan pantat saya pasti luka kalau setiap kali dilap dengan tisue basah, maka saya memakai sisem lain yaitu saya bab sampai 3-4 kali baru memanggil suster. Saya menderita tapi ada lucunya memikirkan dengan cara menunggu bab sampai 4 kali, nanti saya akan mengapung di kubangan tinja. Feses yang keluar masih cair dan warnanya hijau, karena larutan kontras itu. Rasanya jijik juga tidur di kubangan tinja, maka saya memikirkan sistem lain dan untung ketemu. Saya suruh Evie meminjam pispot dorong dan pispot untuk laki-laki kalau akan kencing. Kalau saya akan bab tinggal bilang ke Evie tidak usah panggil suster, angkat bokong dan hal ini tidak seberapa sakit, pispot didorong dan setelah bab karena fesesnya cair tinggal disiram tanpa disusut. Kalau akan kencing tinggal kencing di tempat kencing dan pampers tidak basah. Cara ini banyak sekali memberi keringanan. Kalau Anda mengalami hal seperti ini, pakailah cara ini.

Besoknya terjadi hal yang lucu. Pagi-pagi pukul 04.00 suster masuk dan bertanya saya bung air kecil dan air besar tidak. Saya bilang setiap jam. Jumlah urine 1700 ml, saya tahu sebab setiap kali kencing saya tanyakan ke Evie berapa banyak urine yang saya keluarkan dan feses mungkin sekitar 1500 ml. Dia tidak percaya sebab pampers masih bersih. Akhirnya dia meminta agar kalau saya akan bab atau bak lagi memanggil dia. Begitulah setelah dia menyaksikan sendiri cara pispot dorong dia mau percaya. Akhirnya saya yang mendikte dia jam-jamnya saya buang air besar dan kecil, dan jumlahnya.

Saya termasuk lebih beruntung

Karena setiap malam saya tidak bisa tidur maka pikiran saya terus bekerja, berpikir, melamun dan merenung, sambil menikmati sakit dan keheningan malam. Untuk menghilangkan sakit saya disuruh memencet tombol morfin. Sekali pencet akan keluar morfin 2 mg ke cairan infus dan setiap 5 menit saya dapat memencet ulang. Dalam 1 jam saya dapat memencet 12 kali dan akan masuk morfis sebanyak 24 mg. Saya merasa ngeri, nanti keluar dari rumah sakit saya menjadi pecandu narkoba. Maka saya hanya memencet beberapa kali terdorong oleh ingin tahu enaknya (menghilangkan rasa sakitnya) morfin kaya apa. Saya rasakah tidak berapa menolong atau mungkin karena saya sudah ketakutan nanti ketagihan sehingga ada penolakan maka saya tidak begitu merasakan khasiatnya. Untuk menghilangkan rasa sakit malahan saya meminta Ona melakukan akupunktur ke saya dan dokternya juga memperbolehkan. Tengah saya diakupunktur itu ada suster yang mengeluhkan sakit leher dan pundak sudah 2 tahun. Dia minta kalau bisa diakupunktur juga. Ona mengobati dia. Mungkin terasa enak, besoknya dia sengaja datang minta diakupunktur lagi. Ini juga peristiwa lucu dan merupkan pelipur lara.

Kalau siang saya tidak bisa tidur masih mending sebab Evie, Ona dan Halef juga tidak tidur dan mengobrol. Jadi sekalipun saya tidak aktif mengobrol tetapi mendengarkan obrolan mereka saja saya sudah senang. Kalau malam saya tidak bisa tidur dan tidak ada teman maka pikiran saya melayang memikirkan ini dan itu, melamun dan merenung. Banyak yang saya renungkan dan saya pakai perbandingan keadaannya dengan keadaan saya. Inilah beberapa contoh:

1. Orang yang sakit berat

Saya memikirkan banyak orang yang penderitaannya melebihi saya, misalnya orang yang kehilangan penglihatan, penderita kanker tulang, kanker otak, sakitnya/penderitaannya melebihi yang saya alami. Banyak juga orang sakit berat yang karena berbagai alasan tidak berkesempatan berobat, sedangkan saya ada kesempatan berobat. Jadi saya termasuk lebih beruntung.

2. Orang yang kebanjiran

Saya menikirkan lagi korban banjir yang mungkin sudah mingguan, bulanan bahkan tahunan melihat rumahnya dan harta bendanya terendam air atau lumpur. Akan pergi mengungsi, mengungsi ke mana dan kalau ditinggal pergi nanti hartanya dijarah. Jadi mereka hanya berdiri atau duduk di tempat kering sambil menjaga harta dan menunggu bantuan yang tidak kunjung datang. Mereka lapar tetapi tidak ada makanan, sedang saya makanan ada malahan berlimpah, tetapi napsu makan yang tidak (belum) ada. Jadi dibandingkan mereka saya lebih beruntung.

3. Pencuri

Pikiran saya melayang lagi ke adegan di televisi, pencuri yang dipukuli masa. Ada orang mencari keraja, tidak mendapat kerjaan (seperti kisah Injil Orang yang bekerja di kebun anggur). Akhirnya karena lapar dia mencuri pakaian yang dijemur tetapi ketahuan dan tertangkap. Dia tidak dianggap sebagai manusia lagi, dipukul dan ditendang oleh siapa saja yang mau mukul sampai babak belur dan mengucurkan darah. Orang yang tidak memukul, melihatnya dengan tertawa-tawa. Saya merasa sakit, tetapi rasa sakit ini datang dari dalam dan saya ditolong oleh banyak orang. Pencuri itu merasa sakit oleh sakit yang datangnya dari luar, dipukuli. Orang yang tidak sakit dibuat sakit. Dibandingkan dengan pencuri itu saya lebih beruntung.

4. Sapi gelonggong

Kemudian pikiran saya melayang lagi ke sapi gelonggong. Sapi akan dijual dan supaya timbangan badannya bertambah, sapi itu dicekok air berliter-liter. Caranya sapi itu diangkat kaki depannya dan diganjel, kemudian dengan selang mulutnya diisi air berliter-liter. Kalau ditimbang berat badan sapi ini bertambah dan penjual mendapat untung, tetapi bagaimana rasanya sapi (orang) yang diberi berliter-liter air? Betapa sakitnya kalau sapi itu dapat berpikir, dia diberi air bukannya karena dikasihi tetapi supaya timbangannya naik, kemudian dijual dan disembelih. Dibandingkan dengan sapi gelonggong saya lebih beruntung.

5. Bayi digugurkan

Katanya janin di dalam kandungan sudah dapat merasaka keadaan sekelilingnya, termasuk orang tuanya sedang dalam keadaan harmonis atau sedang bertengkar. Malahan dapat mendengarkan melalui perasaannya apa yang dipertengkarkan oleh orang tuanya, terlebih-lebih kalau oang tuanya mempertengkarkan dirinya sebagai anak yang tidak dikehendaki. Akhirnya datanglah vonis, orang tuanya memutuskan janin yang di dalam kandungan harus digugurkan. Betapa sedihnya janin itu yang merasakan dirinya tidak dikehendaki bahkan oleh orang tuanya sendiri.

Di samping sedih, janin itu juga merasa ketakutan sebab dia tahu bahwa dia akan dikeluarkan. Pada saat aborsi itu berlangsung, alat dimasukkan kedalam rahim, bagaikan beko yang menghancurkan rumah, anggota badan janin itu ditarik satu persatu. Betapa ketakutan janin itu dan betapa nyerinya. Dibandingkan dengan janin itu saya lebih beruntung.

6. Yesus

Dibandingkan dengan penderitaan Yesus, saya bukan apa-apanya. Yesus menderita jasmani dari kepala sampai kaki, bukan karena penyebab dari dalam tetap karena penyebab dari luar, yaitu dipukuli, diberi mahkota duri, disuruh memanggul salib, dipaku. Bukan itu saja sebab Yesus juga diberi penderitaan batin yaitu diludahi, diejek, dijadikan tontonan dipaku di kayu salib dalam keadaan telanjang. Maka dibandingkan dengan penderitaan Yesus saya bukan apa-apanya, saya lebih beruntung.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari perenungan-perenungan selama ini ialah: Kita mempunyai ilmu, harta, waktu, tenaga, pikiran. Sebaiknya mumpung masih bisa, bagikan kepada orang yang membutuhkan. Akan tiba saatnya kita ingin membagikan milik kita, tetapi sudah tidak ada kesempatan lagi. Jadi mumpung masih ada kesempatan, bagikanlah kepada yang membutuhkan.

Setelah keluar dari rumah sakit

Akhirnya saat yang ditunggu tiba, saya diwisudha dan dinyatakan lulus sehingga saya diperbolehkan keluar dari rumah sakit pada tanggal 5 April 2008. Saya merasa gembira tetapi juga merasa sedih dan terharu harus bepisah dengan para dokter dan suster yang begitu baik dan ramah, sehingga tanpa terasa saya dapat menghayati lagu yang dinyanyikan oleh Retno “Aku Berpisah di Teras St Carollus.” Saya juga memikirkan mengapa orang harus bercerai atau rela menceraikan pasangannya yang sudah sekian tahun hidup bersama. Mengapa orang berbuat jahat dengan cara melenyapkan orang lain.

Setelah saya keluar dari rumah sakit saya tinggal di apartemen di Lucky Plaza lantai 21 sambil menunggu saat kontrol. Di sini saya merasakan suasana baru, saya mencoba jalan, jalannya kaya robot, badan bongkok, sebab jahitan operasi menarik badan ke depan. Untung sekali saya membawa suster yang baik sekali yaitu Evie yang setiap saat siap melayani saya dan setiap saat saya dapat meminta pertolongannya tanpa merasa segan. Di apartemen ini saya mendapat kunjungan yang tidak terduga yaitu kunjungan Dr Wibisono dan Ibu Biep. Kebetulan Dr Wibisono sedang di Singapore dan mendengar saya sakit. Kami mengobrol dan bergurau cukup lama.

Besoknya 6 April 2008, saya sudah mencoba jalan-jalan dan saya dengan memakai kursi roda di dorong Halef jalan-jalan menyusuri Orchard road. Rasanya aneh, tetapi enak juga naik kursi roda dan didorong-dorong (sekarang jadi kepengin lagi naik kursi dan didorong-dorong). Besoknya saya jalan-jalan lebih jauh. Dan saya sudah bisa duduk lebih nyaman dan kali ini kami mengunjungi toko-toko antara lain toko buku Kinokuniya. Toko buku ini besar dan bukunya bermacam-macam. Saya duduk saja di kursi dan buku mana yang saya ingin lihat, saya tinggal tunjuk saja dan Halef mendorong kursi saya ke rak buku itu. Tanpa diduga di toko buku ini saya bertemu lagi dengan Dr Wibisono, hanya status kami berbeda sekali. Saya sebagai raja duduk di singgasana dan didorong-dorong ajudan, sedang Dr Wibisono sebagai pembantu rumah tangga. Iya memang kalau di Singapore Dr Wibisono menjadi pembantu rumah tangga. Kerjanya menjaga rumah anaknya, Anita dan antar jemput cucunya ke sekolah. Kalau cucunya sudah diantar ke sekolah, maka Dr Wibisono tinggal menunggu jam pulangnya dan untuk menghabiskan waktu jalan-jalan ke mana saja antara lain ke toko buku. Itulah sebabnya kami bertemu di toko buku.

Hari Rabu tanggal 9 April, Ona balik lagi ke Singapore dan suasana semakin ramai kami tidur di apartemen berempat. Besoknya kami jalan-jalan dan malamnya merupakan malam terakhir di Singapore, kami berempat makan sea food di rumah makan Jumbo di tepi Singapore river. Habis makan Halef mengajak menelusuri Singapore River dan kami semua setuju. Kami berjalan cukup jauh, kalau saya sih enak saja tinggal duduk di kursi dan didorong. Kehidupan malam di sepanjang Singapore River ramai juga, sepanjang yang kami lalui banyak sekali cafe dan rumah makan, tetapi suasananya damai dan tidak mencekam. Akhirnya kami sampai di Merlion, kami melihat-lihat pemandangan menjelang tengah malam di situ, sampai akhirnya kami pulang dengan taksi. Di apartemen Evie, Ona dan Halef membenahi barang sebab besok kami akan check out. Saya tidak ikut bebenah, tetapi saya senang juga melihat mereka sibuk bekerja, saya tinggal memberi komando. Malam itu kami tidur berempat yang terakhir kalinya.

Besoknya saya, Evie dan Ona pergi ke bandara Changi terus ke Jakarta, sedang Halef masih tinggal di Singapore dan lusanya baru ke Atlanta.

Harapan Masa Depan

Keadaan saya sekarang:

Dua minggu setelah operasi, (saya tidak disuruh pantang makanan), maka saya sudah makan asam dan pedas lagi.
Tiga minggu setelah operasi saya sudah mengendarai mobil dan motor, dan saya sudah ke kantor lagi.
Empat minggu setelah operasi saya sudah main tenis lagi.
Setelah saya kembali ke Bandung, kejadian selama saya sakit memberikan kenangan yang indah.
Kanker, carcinoma atau cancer adalah segolongan penyakit yang memang mengerikan kalau kita memandang dari sudut pandang yang mengerikan. Padahal banyak penyakit bahkan semua penyakit termasuk penyakit tua, pada stadium akhirnya juga mengerikan. Apakah memang ada penyakit yang tidak mengerikan? Mungkin juga saya meninggal bukan karena kanker.

Prinsip saya, yang sudah terjadi ya sudahlah, saya hanya memandang masa depan dan fokus saya berdoa, Tuhanlah yang akan menunjukkan jalan. Jalan yang ditunjukkan Tuhan (entah melalui siapa saja, akan saya jalankan). Doa saya, kalau Tuhan berkenan:

Saya ingin sembuh.

Kalau tidak diperkenankan sembuh, ya supaya saya tidak terlalu menderita.

Kalau memang saya harus menderita, ya supaya saya tabah dan selalu mensyukuri keadaan.

Saya ingin diberi karunia sehingga dalam keadaan apa pun saya selalu menghayati bahwa Yesus selalu mengasihi saya. Terpujilah Allah untuk selama-lamanya.

Yang mengerikan bagi semua orang ialah peristiwa meninggal, sebab akhirat itu dunia yang penuh teka-teki. Akhirat adalah alam atau hotel yang kalau sudah check in tidak bisa check out. Tiketnya hanya sejalan, yaitu one way ticket. Oleh sebab itu doa ini sangat berguna “Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan pada waktu kami mati, Amin.”


Advertisement



Tot: 0.121s; Tpl: 0.04s; cc: 7; qc: 24; dbt: 0.0433s; 1; m:domysql w:travelblog (10.17.0.13); sld: 1; ; mem: 1.2mb